TEORI TINGKAH LAKU
Menurut sejarah, teori tingkah laku dimungkinkan sebagai bagian dari sistem pekerjaan magang, walaupun hal tersebut jarang dinyatakan secara tertulis, suatu pekerjaan magang dilakukan untuk dapat menguasai tugas-tugas tertentu. Franklin Bobbit (1918,1924) pertama kali membuat suatu proses yang tegas dalam bidang kurikulum. Setelah membuat rincian pengamatan terhadap aktivitas orang dewasa yang sukses, ia menterjemahkannya ke dalam bentuk khusus, daftar rincian tujuan-tujuan untuk aktivitas belajar siswa. WW Charters (1923) lebih menyaring kegiatan analisa proses ini dengan mendasarkannya pada tujuan-tujuan yang dibangun oleh cita-cita atau idaman masyarakat banyak. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, kita lihat semangat ini menyala kembali dalam pergerakan teori tingkah laku yang menyebar luas oleh Mager (1962), Popham (Baker dan Popham 1973), dan lainnya. Teori tingkah laku dipandang sespecific pernyataan yang bertujuan untuk suatu hasil akhir atau tempat persinggahan perilaku, yang dinyatakan dalam bagian yang dapat diamati.
Untuk mengatakan “Siswa akan belajar penggunaan koma yang benar” maka hal tersebut tidak memiliki teori tingkah laku karena tidak ada waktu yang ditentukan sebelumnya, dapat diamati dan tidak ada hasil akhir dari kelakuan. Tujuannya seharusnya dibaca seperti ini “siswa akan mempertunjukkan pengetahuan dari lima aturan penggunaan koma (tentukan salah satunya) dengan menyatakan tersebut dan dengan benar memasukkan koma tersebut dalam kalimat dimana penggunaan koma diabaikan. Biasanya sebuah bagian dari pokok-pokok yang dijawab dengan akurat dan kondisinya dibawah dari jawaban yang disediakan dalam suatu rangkaian waktu tertentu, ditambahkan ke dalam spesifikasi tertentu.
Anjuran
Teori tingkah laku diniatkan untuk menanggulangi adanya ketidakjelasan oleh sasaran global. Jika guru menyatakan teori tingkah laku untuk semua pelajaran yang mereka ajarkan, mereka akan menjelaskan dan lebih menegaskannya tentang apa yang mereka lakukan. Selain itu, para guru akan mengomunikasikannya secara akurat dengan para orang tua, pengamat, dan para siswa tentunya tentang apa yang mereka maksud untuk ajarkan. Denagn menyatakan sasaran berprilaku, hal itu lebih mudah untuk mengevaluasinya karena hal tersebut datangnya jelas apa yang akan dikenali sebagai bukti akan hasil yang dicapai dari sasaran atau tujuan-tujuan itu. Jadi, teori tingkah laku memberikan sumbangan yang besar untuk dapat dijelaskan.
Berkaitan dengan kerja dari Bejamin Bloom (1956), David Krathwohl (1964), dan yang lainnya, penulis teori tingkah laku mampu untuk menetapkan level atau tingkatan dari fungsi kognitif dan afektif. Bloom mengembangkan sebuah taksonomi teori tingkah laku dalam bidang kognitif yang bergerak melalui enam fasa dari yang lebih kecil ke yang lebih besar kerumitannya, menarik kembali atau mengingat, pemahaman, mengaplikasikan, menganalisa, mensintesis dan mengevaluasi. Dengan cara yang sama, Krathwohl dan yang lainnya mengembangkan sebuah hirarki afektif atau hirarki emosional yang dimulai dengan menerima dan gerakkan melalui merespon atau menjawab, menilai, mengorganisasikan (dimana merasakan hubungan antar nilai), untuk sebuah nilai yang lebih kompleks (dimana berhubungan dengan pandangan dunia dan filosofi hidup). Anita Harrow (1972) mengembembangkan sebuah taksonomi psikomotor yang bergerak melalui mengamati, imitasi atau meniru, mempraktikkan, dan mengadaptasikan. Pekerjaan rutin yang berlangsung di akhir tahun 1960-an dan 1970an ini selesai menuliskan teori tingkah laku pada tingkat yang lebih tinggi dalam daerah taksonomi, dengan cara yang demikian usaha untuk menyediakan keluasan yang lebih besar dan untuk mendalamkan kurikulum yang sering kali berfokus pada tingkatan yang lebih rendah terhadap proses mengingat kembali, menerima dan mengamati.
Kritikan
Travers (1980) menentang adanya ketidaksesuaian taksonomi model biologi, ilmu pengetahuan, dan tidak membenarkan dalam pemberian nama yang cukup. Tujuan lain untuk taksonomi karena taksonomi tersebut tidak tepat memisahkan aspek yang digabungkan dari fungsi manusia. Dengan kata lain, hal ini menyebabkan para ahli guru dan kurikulum untuk merasakan siswa-siswa mereka sendiri sebagai suatu yang memisahkan bagian afektif atau kognitif atau psikomotor. Seorang guru mungkin percaya bahwa sebuah pelajaraan adalah suatu penilaian kognitif dan mengabaikan konsekuensi afektif dan tujuan afektifnya, misalnya. Hal ini tentu saja bukan maksud dari Bloom, Krathwohl dan yang lainnya yang secara asli mengembangkan taksonomi sebagai sebuah alat menganalisa untuk membantu para peneliti dan para pelaksana untuk dapat melihat secara lebih luas terhadap hubungan antara toeri pendidikan dan proses rumit dari fungsi kognitif dan afektif.
Sebuah kritikan yang lebih luas lagi terhadap teori tingkah laku datang di luar taksonomi untuk gaya dan asumsi-asumsi taksonomi tersebut. Staunch, penasehat teori tingkah laku menganggap bahwa pembelajaran bisa dipisahkan menjadi komponen yang tersendiri, hal ini tidak dianalisa secara keseluruhan dan tiap menit bisa diatur dengan yang berurusan. John Goodlad menyatakan bahwa tidak ada akibat yang logis ataupun pembenaran tentang ilmu asal untuk melakukan analisa tersebut (1978). Jika dalam faktanya memungkinkan untuk membuat daftar-daftar semua pembelajaran termasuk proses belajar, satu tindakan membaca sebuah kalimat secara lisan, akan melibatkan sebuah pertunjukkan pembelajaran yang banyak. Hal ini membuat tugas untuk mendaftarkan secara akurat pada pembelajaran dari sebuah pelajaran atau sehari yang tidak dapat diatasi, dibiarkan sendiri untuk semua siswa di sekolah selama satu tahun.
Masalah lainnya adalah terkait waktu dan masa sebelum dirincikan. Kita sering tidak mengetahui dan tidak bisa mengantisipasi bagaimana ilmu pengetahuan atau pengalaman baru akan cocok dengan daftar akumulasi pengetahuan pelajar sebelumnya. Beberapa pelajar, yang berharap perlakuan yang besar, tidak sepenuhnya menyadari sampai pengaturan kelas ditahun selanjutnya.
Akhirnya, bagaimana bisa kemahiran nilai-nilai, pemahaman, sikap-sikap, dan penghargaan dapat menjelaskan secara lengkap pada bagian perilaku yang dapat diamati?hal tersebut merupakan bahan kesadaran bukan kebiasaan belaka. Bahkan jika beberapa nila-nilai dan sikap-sikap bisa dimasukkan atau digabungkan ke dalam kurikulum yang jelas, terlebih pengajaran dan pembelajaran melalui kurikulum yang kabur dan kemudian tidak bisa dispesifikasikan sebelumnya.
Sepupu dekat atas teori tingkah laku adalah program berdasarkan kemampuan, teori penampilan, analisa kerja, dan petunjuk atau instruksi yang berorientasikan hasil. Kesemuanya itu terdengar dikritik oleh Atkin, Stake, Stenhouse, Eisner dan yang lainnya di Hamilton et al (1977). Beberapa teknik juga disumsikan atau dianggap bahwa tugas-tugas, kemampuan-kemampuan, hasil dan pelaksanaan bisa dispesifikasikan sebelumnya dalam kemajuan sebagai bagian pembelajaran untuk dikembangkan ke pelajar. Asumsi ini tidak membutuhkan perubahan selama pelaksanaannya, pelajarnya tidak punya keahlian tertentu yang sesuai denagn yang mereka butuhkan, unsur yang berlainan dalam proses pembelajaran ini diekstrak tanpa mempengaruhi isi keseluruhan dan pembelajaran yang dapat diamati lebih penting dari kesadaran. Tidak ada ilmu yang mendasar untuk mendukung argumen tersebut.
TEORI PENGEMBANGAN
John Dewey berpendapat bahwa tujuan atau teori bukanlah spesifikasi awal dari pengalaman pendidikan tapi merupakan hasil dari pengalaman. Pengalaman merupakan pendidikan, jika tersedia di dalamnya kapasitas untuk terus tumbuh. Pertumbuhan bisa membantu perkembangan dalam banyak cara tapi salah satunya melalui dialog antara guru dan pelajar yang secara bersama-sama membuat dan mengejar sebuah arah sense.
Contoh.
Siswa sebagai seorang manusia ingin untuk mengikutsertakan pengalaman yang sesuai dengan yang mereka butuhkan (Hopkins, 1954). Mereka memiliki apa yang Dewey tunjukkan sebagai pandangan akhir. Para guru mengikutsertakan mereka dalam diskusi tentang kemungkinan konsekuensi yang ada dari pembelajaran yang berpusat pada siswa. Mereka bersama-sama menyusun sebuah proses untuk pemecahan masalah yang memperkaya pengalaman siswa dengan membolehkan mereka untuk merekonstruksi dan merefleksikan pada situasi mereka dengan perspektif yang lebih besar. Untuk guru dan murid teori bukan merupakan arah petunjuk, dokumen-dokumen atau buku pedoman kurikulum tapi lebih dari sekedar petunjuk rasa yang nilainya terus tumbuh.
Pembelaan
Pertumbuhan mungkin terlihat sebagai sebuah petunjuk rasa yang tidak jelas tapi dengan sengaja dipertahankan pada keadaan ini. Untuk mendefenisikan pertumbuhan secara operasional, akan mengalahkan tujuan dari teori pengembangan. Tidak hanya ahli kurikulum tapi juga para guru bisa mengenal kebulatan tekad dari siswa itu sendiri dengan memutuskan apa yang terbaik untuk mereka. Tak ada kurikulum tanpa perwakilan yang mungkin sama dengan pendidikan demokrasi untuk tidak ada perpajakan tanpa representasi. Siswa terlibat dalam menanyakan apa itu manfaat belajar, akan jadi apa seseorang dan konsekuensi sosial dari melakukan suatu hal. Seperti siswa yang mengejar pembelajaran pada tipe ini, mereka saling berkenalan dengan pokok isi ilmu pengetahuan yang ada dan mereka saling berhubungan. Jadi mereka lebih dari sekedar mengasimilasi secara permanen pada tahap ini. Seperti masalah-masalah yang diselesaikan atau minat yang diikuti, siswa belajar untuk membuat masalah baru, persepsi yang bermanfaat, dan konsekuensi dari projek. Peredaran ini berlanjut sepanjang hidup hingga sebuah kurikulum berdasarkan pada pengembangan mempromosikan belajar seumur hidup.
Kritikan
Teori pengembangan terdengar baik secara prinsiptapi terlalu idealis. Pertama, penggunaan teori pengembangan membutuhkan guru yang mampu untuk mengikutsertakan dalam dialog yang bermakna dengan siswa. Sebagian besar belum dilatih untuk melakukan ini. Kedua, bahkan jika ada sebagian guru yang telah dilatih untuk mengikutsertakan dalam dialog beberapa orang tidak akan ingin untuk menggunakan metoda interaktif ini karena butuh usaha ekstra dan rencana yang diperlukan. Mengajar untuk banyak guru merupakan sebuah pekerjaan bukan sebuah misi hidup. Tapi jika sebagian besar menerima misi ini, mereka tidak bisa mengikutsertakan dalam dialog dengan setiap 30 siswa SD (atau 150-200 siswa untuk guru sekolah tambahan). Ketika siswa tidak tau apa yang baik untuk mereka, mereka ingin agar dikatakan apa yang baiknya dilakukan. Akhirnya proses akhir begitu terbuka. Siswa tidak akan pernah datang untuk melihat hubungan mata pelajaran penting tertentu seperti grammar, algibra, fisika dan sejenisnya.
TEORI PERNYATAAN
Bagian teori ini didukung oleh Elliot Eisner (1969) mengasumsikan bahwa kadang teori ini memerlukan pengadaan aktivitas untuk murid tanpa spesifikasi sebelumnya atau bahkan sebuah ide yang jelas hasil apa yang akan di dapat.
Contoh
Seorang guru mungkin membaca kutipan dari Huckleberry Finn atau literatur pengarang hebat lainnya ke siswa selama 20 menit sehari untuk beberapa minggu. Waktu mungkin diset ke samping untuk mdiskusikan buku tapi tidak ada hasil yang diberikan pada awalnya. Seorang guru mungkin bermain sebuah simfoni Mozart dan meminta pada siswa untuk menari atau menunjukkan respon lain setelah mendengar permainan simfoni itu.
Anjuran
Siswa tidak akan dibatasi oleh tujuan mengantisipasi guru-guru dan siswa akan mampu untuk menemukan pengalaman apa yang dapat disimpan mereka. Eisner mengamati hanya sedikit bahkan sangat sedikit orang yang mengatur tujuan selanjutnya yang sebelumnya menghadirkan sebuah permainan atau tontonan (Eisner, 1985). Namun demikian kita bisa belajar dan tumbuh sebesar tingkah laku dengan menghadirkan beberapa kegiatan.
Kritikan
Teori pernyataan begitu samar-samar. Sekolah seharusnya memberi harapan atau spesifikasi awal hasil belajar (lihat Johnson, 1977a). Ketika guru-guru mengemukakan cat dan kertas, guru memiliki banyak hasil belajar yang diharapkan, yang siswanya akan belajar untuk menggunakan cat, yang mereka akan mendapat keahlian atau keterampilan atau teknik mengecat dengan menonton satu yang lainnya. Dan guru-guru juga, dalam kenyataannya, akan mengekspresikan rasa atau ide yang kemudian didiskusikan, yang mana ekspresi mereka mungkin terbuka untuk menarik yang bisa mereka pelajari. Bahkan ketika kita memilih untuk menghadirkan sebuah film atau permainan/ konser, kita biasanya mendengar sesuatu tentang itu dari seorang teman, telah membaca sebuah resensi buku, atau kumpulan kecil dari iklan di koran yang akan berbicara untuk sebuah minat. Dalam sense ini, tidak melulu ekspresi tak berbentuk tapi sebuah sense individu yang belum sempurna. Hasil belajar yang diharapkan yang mendorong kita untuk menetapkan minat kita yang tumbuh sendiri. Lebih jauh lagi sebagaimana teori pernyataan menyatakan, tidak ada garansi dengan teori ekspressif yang menginginkan bahan yang dicakup, hannya sedikit yang didapat siswa dari suatu yang biasa, pengalaman hidup tanpa bimbingan sekolah. Institusi pendidikan seharunya menjadi rangkaian struktur dari hasil belajar yang diharapkan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.